Stunting adalah kondisi terhambatnya pertumbuhan fisik dan kognitif pada anak akibat kekurangan gizi, yang memiliki dampak jangka panjang terhadap kesehatan dan perkembangan anak. Di Indonesia, prevalensi stunting masih tinggi, mencapai 24,4% pada tahun 2021 (SSG, 2021). Meskipun kondisi ini berkaitan dengan kekurangan gizi sejak janin, diagnosis stunting baru dapat dilakukan antara usia 2 hingga 5 tahun, setelah melewati masa 1000 hari pertama kehidupan (HPK). Oleh karena itu, penting untuk mengetahui penyebab stunting agar tindakan mitigasi dapat dilakukan sejak dini. Penelitian oleh Ariati (2019) menunjukkan bahwa faktor-faktor penyebab stunting tidak hanya terbatas pada masalah gizi buruk pada ibu hamil atau balita, namun terdapat faktor lain diantaranya yaitu:
Faktor Prenatal
Usia ibu saat hamil mempengaruhi risiko stunting. Usia reproduksi perempuan yang tidak berisiko berkisar antara 20-35 tahun (Cunningham, 2006). Namun, ibu yang hamil di atas 35 tahun memiliki risiko 2,74 kali lebih tinggi untuk melahirkan anak stunting dibandingkan dengan ibu usia 25-35 tahun (Y. Jiang et al, 2014). Selain itu, status gizi ibu saat hamil memainkan peran kunci. Ibu hamil dengan kekurangan energi kronis (KEK) atau anemia berisiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Anak dengan riwayat BBLR memiliki risiko kejadian gizi kurang 10 kali lebih tinggi (Septika Sari, 2016).
Faktor Pascanatal
Faktor-faktor pascanatal juga berperan dalam kasus stunting. Pola pemberian ASI eksklusif mempengaruhi asupan protein, yang dalam jangka panjang dapat menyebabkan stunting. Imunisasi juga memainkan peran penting dalam mencegah risiko penyakit pada balita. Anak yang tidak mendapatkan imunisasi dasar lengkap memiliki risiko stunting yang lebih tinggi. Penyakit infeksi juga dapat berdampak negatif pada gizi anak, meningkatkan risiko kekurangan gizi dan stunting.
Menurut sumber lain, dalam buku "100 Kabupaten/Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil" yang ditulis oleh Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia pada tahun 2017 menyoroti faktor tambahan penyebab stunting, diantaranya yaitu :
- Minimnya pengetahuan ibu tentang pengasuhan anak selama masa prenatal dan pascanatal menjadi faktor utama terjadinya stunting. Edukasi yang tepat tentang asupan gizi, pentingnya ASI eksklusif, MP-ASI, dan imunisasi selama kehamilan dapat meminimalkan risiko stunting.
- Kurangnya perhatian terhadap pelayanan kesehatan pada Antenatal Care dan Post Natal Care dapat menghambat deteksi dan penanganan dini masalah gizi pada ibu hamil, berpotensi menyebabkan stunting pada anak. Kesadaran ibu hamil dalam mengkonsumsi suplemen zat besi yang memadai juga masih kurang. Membahas mengenai PNC, pada kurun waktu 2007 hingga 2013, telah terjadi penurunan kehadiran anak di Posyandu yang semula 79% menjadi 64%. Padahal Posyandu juga memegang peranan penting dalam memberikan pemeriksaan serta layanan kesehatan ibu dan anak.
- Akses terhadap air bersih dan sanitasi merupakan faktor risiko yang signifikan dalam terjadinya stunting, Air bersih keluarga yang tidak memiliki akses ke sumber air bersih balitanya memiliki risiko menderita stunting dibandingkan dengan keluarga yang memiliki akses ke sumber air bersih karena rentan terkena diare (Angriani et al, 2021). Sedangkan tidak memiliki fasilitas jamban sehat berpotensi menimbulkan berbagai penyakit infeksi yang akan mengganggu proses penyerapan nutrisi sehingga tumbuh kembang balita terganggu (Hasanah et al, 2021).
- Status Ekonomi keluarga dan Kaitannya dengan Akses Makanan Bergizi
Status ekonomi keluarga yang rendah memiliki akses makanan bergizi yang terbatas. Balita dari keluarga dengan status ekonomi rendah memiliki risiko 2 kali lebih tinggi mengalami stunting dibandingkan dengan balita dari keluarga dengan status ekonomi tinggi (Utami et al, dalam Yunita, A et al, 2022). Namun tidak menutup kemungkinan keluarga dengan status ekonomi baik juga akan selalu terbebas dari stunting. Data menunjukkan bahwa kasus stunting juga dialami oleh rumah tangga yang memiliki tingkat kesejahteraan sosial ekonomi di atas 40 %.
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan penyebab stunting sangatlah beragam dan multifaktorial. Oleh karena itu, langkah-langkah mitigasi diperlukan sejak dini melalui edukasi, penguatan pelayanan kesehatan, dan peningkatan akses terhadap sumber daya gizi. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan dapat mengurangi kasus stunting dan meningkatkan kesejahteraan anak-anak di Indonesia. (Avicennia Marina AlFatimi & Jessyca Widya Pratiwi, Tim PPK Ormawa LPM PH).
Referensi :
Angraini, W., Amin, M., Pratiwi, B. A., Febriawati, H., & Yanuarti, R. (2021). Pengetahuan ibu, akses air bersih dan diare dengan stunting di puskesmas aturan Mumpo Bengkulu Tengah. Jurnal Kesmas (Kesehatan Masyarakat) Khatulistiwa, 8(2), 92.
Hasanah, S., Handayani, S., & Wilti, I. R. (2021). Hubungan sanitasi lingkungan dengan kejadian stunting pada balita di Indonesia (studi literatur). Jurnal Keselamatan Kesehatan Kerja Dan Lingkungan, 2(2), 83-94.
Kusudaryati, D. P. D. (2013). Kekurangan asupan besi dan seng sebagai faktor penyebab stunting pada anak. Profesi (Profesional Islam): Media Publikasi Penelitian, 10(01).
Septika Sari, (2018). Status Gizi Anak dan Faktor yang Mempengaruhi. Yogyakarta: UNY Press.
Tnp2k. 100 kabupaten/kota prioritas untuk intervensi anak kerdil (stunting). pertama. (tim nasional percepatan penanggulangan kemiskinan, ed.). jakarta: tim nasional percepatan penanggulangan kemiskinan; 2017
Yanti, N. D., Betriana, F., & Kartika, I. R. (2020). Faktor Penyebab Stunting Pada Anak: Tinjauan Literatur. Real In Nursing Journal, 3(1), 1-10.
Yunita, A., Asra, R. H., Nopitasari, W., Putri, R. H., & Fevria, R. (2022). Hubungan Sosial Ekonomi Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Socio-Economic Relations with Stunting Incidents in Toddlers. In Prosiding Seminar Nasional Biologi (Vol. 2, No. 2, pp. 812-819).